MADIUN - Tahun Baru Islam bukan hanya dirayakan dengan satu-dua jenis tradisi. Berbagai daerah lainnya selain Yogyakata dan Solo juga punya tradisinya sendiri menyambut bulan Suro.
Meski memiliki bentuk dan cara beragam, tradisi dan ritual menyambut dan pada saat bulan Suro ini memiliki inti serupa, menghormati berbagai peristiwa bersejarah pada bulan itu. Bulan Muharam telah lama diyakini umat agama-agama samawi sebagai momentum para nabi selamat dan sukses membawa kemaslahatan bagi umat.
Namun di sisi lain, bulan Muharam tepatnya saat hari Asyura yaitu pada 10 Muharam juga menjadi peringatan cucu Nabi Muhammad, Husein bin Ali, terbunuh.
Menurut Japarudin dalam Tradisi Bulan Muharram di Indonesia dan terbit di Jurnal Tsaqofah & Tarikh Vol 2 Nomor 2 Juli-Desember 2017, berikut beragam tradisi umat muslim Indonesia dalam menyambut Muharam.
Kraton Yogyakarta Hadiningrat
Pe Peringatan menyambut masuknya bulan Muharam di Yogyakarta ditandai dengan ritual yang disebut Mubeng Beteng. Mubeng Beteng dilakukan dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Dalam menjalani ritual Mubeng Beteng, peserta yang ikut tidak diperkenankan untuk berbicara satu sama lain seperti orang yang sedang bertapa.
KKKraton Solo Hadiningrat
Meski sama-sama peninggalan Kesultanan Mataram,
ritual yang dilakukan di Keraton Solo sangat berbeda dengan di Keraton
Yogyakarta.
Penyambutan malam satu Suro di Keraton Solo
dipimpin oleh seekor kerbau albino bernama Ki Slamet sebagai Cucuking Lampah.
Ki Slamet merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat.
Ketika Ki Slamet mulai berjalan, para putra
Sentana Dalem (kerabat keraton) mengikutinya dengan membawa pusaka keramat.
Ritual ini tidak hanya diikuti oleh warga Surakarta saja melainkan para
masyarakat yang mendiami Karesidenan tersebut yakni Karanganyar, Boyolali,
Sragen, dan Wonogiri.
3. Sumenep, Madura Di ujung timur pulau Madura, Sumenep, tradisi menyambut bulan Muharam diwarnai dengan membuat bubur tajin dan menyebutnya dengan nama Tajin Sora. Pada bulan Suro, masyarakat kemudian saling membagi bubur tersebut kepada tetangga terdekat. Dalam pandangan tradisional orang Madura, bulan Muharam dianggap sebagai bulan nahas, sehingga dilarang melakukan perjalanan jauh pada bulan tersebut. Ketika memasuki bulan Safar atau bulan kedua dalam kalender Hijriah, masyarakat di Sumenep membuat Tajin Mera Pote (Bubur Merah Putih) yang melambangkan perjuangan cucu Nabi Muhammad, Husein. Warna merah yang berasal dari gula merah ini digambarkan sebagai darah dari Husein, sementara warna putih melambangkan kesucian perjuangan Husein.
4. Garut, Jawa Barat
Pada tanggal 10 Muharam, hampir setiap rumah
penduduk di Garut memasak bubur merah dan bubur putih secara terpisah yang
kemudian dikenal sebagai bubur Suro.
Bubur Suro ini akan dibawa ke masjid bersama
dengan makanan ringan lain. Di masjid, para jamaah sudah menanti dengan
membentuk lingkaran untuk mengikuti seorang pemimpin adat di daerah tersebut.
Selanjutnya, wanita paruh baya yang terpilih akan
membacakan selawat dan pujian untuk Nabi Muhammad SAW yang diambil dari kitab
al-Barzanzi.
Usai pembacaan itu, kisah hidup Husein bin Ali bin Abi Thalib akan dibacakan
sebelum para jemaat menyantap hidangan itu bersama-sama.
5. Cirebon, Jawa Barat
Di Cirebon, masyarakat juga mempersiapkan bubur
untuk dibagikan kepada tetangga atau kerabat dekat. Orang Cirebon menyebut
bubur tersebut dengan bubur sura atau bubur slabrak (bubur tepung beras dengan
santan yang berisi berbagai bahan makanan).
Pesan di balik tradisi ini adalah bubur berwarna
putih untuk menandakan hari Asyura yang suci, serta tersedianya beragam bahan
makanan sebagai simbol kejadian yang terjadi pada bulan tersebut.
6. Kampung Keudah, Aceh
Salah satu tradisi penyambutan bulan Muharam di
Aceh yang paling menonjol adalah upacara Tabut Hasan di Kampung Keudah, Banda
Aceh.
Upacara Tabut Hasan merupakan bentuk penghormatan atas
kejadian tragis yang terhadi di Karbala. Upacara ini ditandai dengan bubur
dimasak dan dicampur buah-buahan. Lalu bubur dibagikan kepada orang yang
melewati kampung tersebut.
Selain itu, masyarakat di Aceh juga membuat Kanji
Asyura atau makanan yang terbuat dari beras, susu, kelapa, gula, buah-buahan,
kacang tanah, pepaya, delima, pisang, dan akar-akaran.
Setelah dimasak, Kanji Asyura ini dibawa ke masjid
atau perempatan jalan, dibacakan doa-doa lalu dibagikan kepada masyarakat.
Informasi lain menyebutkan bahwa masyarakat Aceh
melaksanakan ritual Asan Usen di bulan Muharam. Pada pekan pertama Muharam,
masyarakat melaksanakan puasa selama tiga hari berturut-turut. Puasa akan
dilanjutkan di hari kesembilan dengan berbuka puasa memakan Kanji Asyura.